TEKNOLOGI - Bayangkan, pagi yang cerah di jalan raya, dan di sebelah Anda ada mobil berlogo "Garuda" melaju gagah. "Wah, mobil nasional!" pikiran itu tentu bikin bangga. Tapi coba lihat sekitar, kenyataannya yang beredar ya masih Toyota, Honda, dan kawan-kawannya dari negeri orang. Padahal, siapa bilang Indonesia tak bisa bikin mobil, kapal, atau bahkan pesawat? Kita punya sejarah panjang soal itu, tapi entah kenapa hasilnya selalu saja berakhir di museum atau sekadar bahan cerita.
Mari kita mundur sejenak. Indonesia pernah berjaya dengan proyek-proyek ambisius. Ingat pesawat N250 yang dikerjakan BJ Habibie? Pada 1995, pesawat ini bahkan sudah terbang perdana! Tapi, saat krisis ekonomi melanda, program ini pun ikut jatuh. Ibarat cinta yang tak sampai, pesawat buatan lokal yang sempat membanggakan itu akhirnya berhenti di landasan. Mungkin ada yang bisa mengerti, tapi tetap ada rasa sesak di dada. Kenapa selalu begini?
Lalu ada lagi cerita tentang mobil Timor, yang konon jadi "mobil nasional" di era 90-an. Awalnya, mobil ini berambisi besar, tapi sayangnya tak mampu bertahan menghadapi badai krisis moneter. Mungkin Timor lahir terlalu cepat, saat Indonesia belum siap. Kalau mobil nasional berakhir sedih, bagaimana dengan nasib motor nasional? Eh, jangan salah, kita punya juga motor asli Indonesia, Gesits. Tapi di jalanan, tetap motor asing yang berjaya. Apakah mungkin kita terlalu cepat putus asa?
Faktor Pendorong atau Penghambat?
Baca juga:
TOGAF 9 Executive Overview
|
Kenapa semua ambisi besar itu harus terhenti di tengah jalan? Jawabannya tidak bisa diwakili satu alasan saja, tapi mari kita coba kupas beberapa. Pertama, soal kebijakan pemerintah yang sering "maju-mundur cantik". Dari zaman ke zaman, kebijakan untuk mendukung industri manufaktur sering kali berubah-ubah. Ada yang semangat mendukung, ada yang tiba-tiba berhenti. Kalau kebijakan saja tidak konsisten, bagaimana bisa industri kita melaju?
Ada juga soal dana. Industri otomotif atau penerbangan bukanlah mainan murah. Di negara-negara maju, perusahaan otomotif lokal mendapat dukungan finansial besar, entah lewat subsidi, insentif, atau akses kredit yang mudah. Di sini? Jangan harap, yang ada banyak perusahaan harus berjuang sendiri. Seperti PT Dirgantara Indonesia (DI), yang sampai sekarang masih terus berusaha bertahan dengan anggaran yang serba terbatas. Mereka bisa bikin pesawat, tapi mau jualannya, mau ekspansi? Ya terhambat dana lagi.
Infrastruktur yang Bikin Geleng-Geleng Kepala
Tidak cukup sampai di dana, ada lagi soal infrastruktur. Untuk bikin mobil atau pesawat, kita butuh rantai pasok yang kuat. Seperti Jepang yang punya suku cadang sampai produk jadi di dalam negeri sendiri. Di sini, mayoritas komponen harus diimpor. Dampaknya? Biaya produksi jadi mahal dan kurang kompetitif. Kalau sudah begini, apa tidak wajar kalau orang memilih mobil asing yang lebih murah dan sudah punya nama?
Baca juga:
Obscura, Adamnya Kamera
|
Dan satu lagi, yang cukup penting, adalah soal mindset. Konsumen Indonesia, jujur saja, masih doyan produk luar negeri. Merek-merek global lebih mudah dapat tempat di hati masyarakat. Jadi, mau sebagus apa pun mobil nasional, tetap susah kalau konsumen sendiri enggan mengapresiasi. Ada cerita menarik soal mobil Esemka, misalnya. Mobil ini sempat viral, tapi saat benar-benar dijual, tidak banyak yang benar-benar mau beli. Alasannya? Ah, Esemka kan masih "lokal" dan belum terbukti. Ya begitulah, produk lokal selalu dibandingkan dengan produk luar.
Persaingan yang Tak Mudah
Terakhir, mari kita bicara soal kompetisi. Indonesia, dengan jumlah penduduk besar, jelas jadi incaran empuk produsen asing. Mereka bisa jualan dengan harga miring karena kapasitas produksi mereka sudah besar dan rantai distribusi mereka solid. Sementara perusahaan lokal, ya, baru mau mulai sudah dihantam kompetisi. Mungkin mereka ini ibarat siswa baru yang dipaksa bertarung melawan siswa senior. Belum bisa apa-apa, sudah dihadang di sana-sini.
Jadi, Apa Solusinya?
Lantas, apa kita harus pasrah? Tentu saja tidak. Indonesia punya potensi besar, hanya saja perlu pendekatan yang lebih baik dan dukungan yang konsisten. Pemerintah harus berani membuat kebijakan jangka panjang yang jelas, bukan sekadar proyek yang heboh di awal lalu sepi di akhir. Konsumen pun perlu sedikit berani mencoba produk lokal, supaya pelaku industri di sini bisa terus berkembang.
Intinya, kita sebenarnya mampu, tapi jalannya memang panjang dan terjal. Kalau semua pihak mau bekerja sama, bukan tak mungkin suatu hari nanti jalanan kita dipenuhi oleh mobil buatan Indonesia. Jadi, siapa tahu, suatu hari kita semua bisa dengan bangga bilang, "Ini mobil karya anak bangsa, buatan negeri sendiri!"
Jakarta, 29 Oktober 2024
Hendri Kampai
Ketua Umum Jurnalis Nasional Indonesia/JNI/Akademisi