PEMERINTAHAN - Bayangkan sebuah negeri yang nyaris terputus dari dunia luar. Di sana, semua hal terlihat seragam—dari pakaian hingga pikiran warganya. Tempat ini bukanlah sekadar cerita fiksi; ia nyata dan dikenal dunia sebagai Korea Utara, negara yang hidup di bawah cengkeraman dinasti Kim, yang kekuasaannya telah berlangsung selama lebih dari tujuh dekade. Bagaimana mungkin sebuah keluarga mampu menjaga cengkeraman atas jutaan orang selama itu? Mari kita menyelami kekuasaan yang penuh teka-teki ini.
Awal Sebuah Dinasti
Semuanya dimulai dengan Kim Il-sung, pendiri Korea Utara sekaligus tokoh utama dalam sejarah panjang negeri ini. Dengan memanfaatkan sentimen anti-imperialisme terhadap Jepang, ia membangun legitimasi sebagai pemimpin rakyat. Namun, setelah kemerdekaan, Kim Il-sung tidak hanya berhenti di situ. Ia membentuk ideologi yang disebut Juche—sebuah filosofi kemandirian yang memaksa rakyat percaya bahwa mereka hanya bisa bergantung pada negara, dan negara itu adalah Kim Il-sung sendiri.
Kejeniusan Kim Il-sung terletak pada caranya memadukan kekuasaan politik dengan kultus individu. Ia tidak hanya menjadi pemimpin, tetapi juga menjadi "dewa" bagi rakyatnya. Di sekolah, anak-anak diajari lagu-lagu tentang kebesarannya. Di rumah, setiap keluarga diwajibkan menggantungkan potretnya di dinding. Semua ini bukan hanya tentang penghormatan, tetapi tentang menciptakan generasi yang tidak pernah membayangkan dunia tanpa Kim Il-sung.
Pewarisan Kekuasaan: Kim Jong-il dan Kim Jong-un
Ketika Kim Il-sung meninggal pada 1994, dunia mengira rezim ini akan runtuh. Namun, putranya, Kim Jong-il, berhasil melanjutkan kekuasaan dengan memperketat cengkeraman atas negara. Di bawah Kim Jong-il, Korea Utara memasuki era kegelapan, secara harfiah dan metaforis. Krisis ekonomi yang parah menyebabkan kelaparan massal, tetapi propaganda terus mengklaim bahwa pemimpin mereka adalah penyelamat yang tak tergantikan.
Kemudian, kekuasaan beralih kepada Kim Jong-un, putra Kim Jong-il, yang awalnya dianggap terlalu muda dan tidak berpengalaman. Namun, ia dengan cepat membuktikan bahwa kekejamannya tidak kalah dari pendahulunya. Dengan serangkaian eksekusi terhadap para pejabat tinggi, termasuk pamannya sendiri, Kim Jong-un menunjukkan bahwa tidak ada tempat untuk oposisi, bahkan di dalam keluarganya sendiri.
Cara Dinasti Bertahan
Rahasia keberlangsungan dinasti ini terletak pada tiga pilar: kontrol total, ketakutan, dan propaganda. Pemerintah Korea Utara memiliki kendali penuh atas semua aspek kehidupan warganya. Tidak ada akses internet bebas, media hanya menyampaikan narasi pemerintah, dan bahkan percakapan pribadi diawasi dengan ketat. Dengan menciptakan ketakutan bahwa siapa saja bisa "menghilang" karena kritik terhadap pemerintah, rakyat pun tunduk tanpa perlawanan.
Baca juga:
Bupati Asahan Buka FGD Laboratorium Inovasi
|
Propaganda juga memainkan peran penting. Rakyat diberi narasi bahwa mereka hidup di negeri terbaik di dunia, meskipun kenyataannya jauh dari itu. Sementara dunia melihat Korea Utara sebagai penjara besar, rakyatnya diajari untuk percaya bahwa mereka adalah bagian dari surga yang dilindungi oleh pemimpin agung mereka.
Pelajaran bagi Dunia
Dari Korea Utara, kita belajar betapa pentingnya kebebasan informasi dan transparansi dalam pemerintahan. Ketika kekuasaan terkonsentrasi pada satu keluarga atau kelompok, dan ketika informasi dikontrol dengan ketat, sebuah negara dapat berubah menjadi alat opresi yang sangat menakutkan.
Namun, kisah ini juga mengingatkan kita akan ketahanan manusia. Di balik dinding Korea Utara, ada orang-orang yang masih bermimpi tentang kebebasan, yang berusaha melarikan diri, dan yang diam-diam melawan. Dunia luar punya tanggung jawab untuk terus membuka jalur komunikasi dengan mereka, membantu mereka melihat bahwa dunia lebih luas daripada apa yang dipropagandakan oleh dinasti Kim.
Pada akhirnya, kisah Korea Utara adalah peringatan keras bahwa kekuasaan absolut, terutama yang diwariskan secara dinasti, bisa menjadi ancaman terbesar bagi kemanusiaan. Dunia harus belajar untuk mencegah hal serupa terjadi di tempat lain.
Jakarta, 21 Desember 2024
Hendri Kampai
Ketua Umum Jurnalis Nasional Indonesia/JNI/Akademisi